Brak.... tubuh Prabu terbentur kursi-kursi di gudang
sekolah. Dia tertunduk dan memegang lengannya yang terasa sakit. Empat anak
laki-laki itu semakin senang melihat Prabu terlihat begitu lemah. Salah satu
diantara mereka menarik baju Prabu ke atas lalu memukul perutnya. Prabu pun
terjatuh dan keempat anak itu menendanginya penuh amarah.
“Cukup bro.. cukup .” Kata Bian.
“Kok cukup bro? Sekalian kita habisin aja nih anak
biar ga nglunjak sam lo.” Timpal salah satu teman Bian.
“ Enggak bro. Kita bisa kena masalah kalo nih anak
sampe abis nyawanya.” Bian menginjak tangan Prabu. Membuat prabu berteriak dan
menahan sakit. “ Ini peringatan pertama dan terakhir buat lo! Lo jangan sok
keren di sekolah ini. Lo cuma anak baru yang ga ngerti apa-apa di sini. Dan lo ga
usah berlagak biar semua orang suka sama lo. Lo bukan saingan gue, jadi jangan
harap lo bisa sejajar sama gue. Aaahhh... dan satu lagi. Jangan pernah deketin
Sania. Dia ga pantes buat lo. Gue ga takut apa pun. Ngerti lo?!!” Ancam Bian.
Mereka berempat pun pergi meninggalkan Prabu yang tersungkur berdarah-darah.
Prabu memegang pergelangannya yang sakit. Dengan
setengah menyeret badannya dia bersandar
di dinding gudang. Nafasnya terenggah-engah. Tatapan matanya penuh amarah namun
tangan kanannya terlihat memar. “ Prabu!!” Teriak Kinan yang tiba-tiba muncul.
Ia berlari mendekati Prabu. Matanya berkaca-kaca dan tangannya gemetar
menyentuh lengan Prabu. Prabu hanya tersenyum.
Kinan mengambil ruff dan membalut lengan Prabu yang
robek dan berdarah. Ia mengusap darah di
pelipis, bibir, dan tangan Prabu. Tanpa ia sadari air matanya menetes begitu
saja. Prabu hanya terdiam menatap Kinan. Tatapannya begitu dalam. Seakan ia
lupa pada tangannya yang sakit.
“ Ini pertama kalinya aku melihatmu menangis, Ki. Aku
nggak papa kok, Ki.” Kata Prabu tersenyum.
“Aku nangis bukan karena sedih kamu babak belur gini.
Aku hanya marah, kenapa aku gak bisa menolong kamu. Kenapa aku hanya bisa diam
aja liat kamu dipukuli Bian dan temen-temennya yang gila itu. Ayo aku bantu
berdiri. Kamu kuat kan?” Jawab Kinan. Sekali lagi Prabu hanya tersenyum.
Kinan membopong tubuh Prabu yang terlihat lemas.
Sekalipun tinggi Kinan hanya sebatas pundak Prabu. Sesampainya di UKS dokter
sekolah tertegun melihat mereka berdua. Dokter sekolah segera mengobati Prabu.
“Jangan kemana-mana ya Ki.” Cetus Prabu. Kinan mengangguk dan tersenyum. Ia
keluar UKS. Dengan tatapan penuh amarah Kinan mencari Bian. Dari kejauhan
terlihat Bian bersama Sania tengah asyik mengobrol.
Kinan menghampiri Bian. Ia meraih tangan Bian dan
membantingnya hanya dalam sekejap mata. Sania hanya tertegun. “Auch!!!!” Teriak
Bian. Bian bangkit dan hendak menampar Kinan. Sekali lagi Kinan menangkis
tangannya dan membantingnya lagi.
“Lo gila, Ki?! Maksud lo apa sih!” Marah Bian.
“ Kamu yang gila! Apa yang aku lakuin ke kamu ga
sepadan dengan apa yang kamu lakuin ke Prabu.”
“ Ooh jadi bocah itu ngadu ke lo? Heh. Pengecut.”
“Kamu yang pengecut. Denger baik-baik ya Bian Kusuma
Wardahani, sekali lagi kamu bertingkah aku patahin leher kamu. Jangan pernah ganggu
Prabu lagi.”
“ Kenapa? Lo suka sama dia? Lo mau jadi tamengnya dia
gitu?” Bian terkekeh mendengar ancaman Kinan. “Kalo bukan lo sepupu gue, udah
habis lo ditangan gue. Jangan ngira keluarga gue berhutang budi sama keluarga
lo lantas lo seenaknya sama gue, Ki.” Ancam Bian tepat di depan wajah Kinan.
Kinan pergi meninggalkan Bian. Ia berjalan menuju UKS. Kinan duduk di samping
Prabu yang tertidur.
Ting.... bunyi hp Kinan. Menandakan ada pesan masuk di
akun Line Kinan. Segera ia membuka pesan itu. Ternyata dari Prabu.
Udah tidur, Ki?
Belum nih, Ko. Gimana keadaan kamu?
Mending?
Kamu tadi kemana? Aku kan bilang
untuk nungguin aku. Tapi kamu ga ada.
Aku tadi nemuin Bu Rahma buat
nanyain tugas. Selagi inget Ko.. hiihihihih
Besok aku tunggu kamu di kafe biasa
ya Ki. Penting. Jam 7 malem. Jangan ngaret loh.
Oke deh.
Met istirahat Kinan
Met istirahat juga Koko
Kinan tersenyum membaca
pesan Prabu. Begitu pun dengan Prabu. Seakan ada isyarat diantara mereka.
Memang masa remaja yang penuh dengan romansa. Penuh dengan cerita cinta,
pertemanan, dan prestasi. Kinan membuka buku hariannya. Terselip sebuah foto seorang
laki-laki yang tengah tersenyum ditengah lapangan sepak bola sembari bermadikan
keringat. Ya, foto Prabu. Diam-diam Kinan mengambil gambarnya. Kinan
memandanginya penuh perhatian, penuh harapan.
Suasana kelas tampak riuh. Ujian Nasional segera
berlangsung minggu depan. Kinan menatap kursi Prabu yang kosong. Wajar jika
hari ini Prabu tak masuk sekolah. Mungkin dia butuh istirahat lebih karena kejadian
kemarin, pikir Kinan. Seakan ada yang berbeda saat Prabu tak bersamanya. Sejak
Prabu datang di sekoalh ini, Kinan menjadi banyak bicara. Tak ada yang bisa
membuatnya berbicara banyak selain Prabu. Bahkan ketiga teman dekat Kinan
seperti Renata,Dimas, dan Ratih.
mungkin sangat sederhana, namun aku adalah ketulusan sebuah perasaan |
Kinan sibuk mencari pakaian yang cocok untukknya.
Karena malam ini ia akan bertemu Prabu. Setelah setengah hari ini tak melihat
senyumnya, Kinan sangat rindu. Kinan datang ke tempat ia biasa pergi dengan
Prabu beberapa kali ini. Prabu duduk di samping jendela sambil memainkan
ponselnya. Kinan langsung duduk di hadapannya. Membuat Prabu terkejut.
“ Serius amat, Koko.” Ledek Kinan. Ia melepas jaket
dan membuka buku menu.
“ Aku pikir kamu nggak dateng, Ki. Aku kangen kamu
Ki.” Kinan terdiam. Pandangannya langsung beralih ke wajah Prabu. Prabu
menatapnya hangat. “ Ki, aku besok mau pindah sekolah lagi.” Pernyataan Prabu
sangat tiba-tiba. Kinan menutup buku
menu dan mendengarkan Prabu dengan seksama. “Aku pindah ke Singapura Ki,
pengobatan tanganku juga. Tangan kanan aku retak, syarafnya ada yang keganggu
karena kejadian kemarin. Aku ga bisa ngelukis lagi, Ki. Aku ga bisa motret
lagi.” Seakan ada gutur menyambar kepala Kinan.
Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Sekujur tubuhnya
menjadi lemas. Prabu memegang tangan Kinan yang mulai mendingin.
“Tiba-tiba banget , Ko? Kayaknya aku mesti patahin
tangan Bian deh.” Kesal Kinan. Prabu terkekeh. Ia mengacak-acak rambut Kinan.
“Gak perlu segitunya kali, Ki. Mungkin bener kata
Bian. Aku sok orangnya waktu datang ke sekolah kamu. Ah, aku udah pesenin
makanan dan minuman buat kamu. Aku hampir lupa. Hehheheh.”
“ Makasih, Ko. Tapi apa harus ya Ko ke Singapura?
Maksudku apa gak di Indo aja. Di sini banyak rumah sakit bagus kok. Pasti bakal
ga asik gak ada kamu.” Kinan cemberut.
“ Iya, harus. Ini sih permintaannya mama papaku, Ki.
Aku pesen sama kamu, jangan gampang emosi dan mukul orang ya. Cewek itu harus
anggun, cantik....”
“ Kayak Sania gitu??”
“ Ahahahahha,, kok nyambungnya ke Sania sih. Kamu
cantik kok, Ki. Ini buat kamu.” Prabu memberikan sebuah kotak kecil. Hadiah
perpisahan untuk teman terbaik yang pernah dimilikinya. Tak lama kemudian
makanan mereka datang. “ Uups... Tangan kanan aku sakit Ki, aku susah
makannya.” Prabu memelas pada Kinan. Kinan terkekeh melihat sifat manja Prabu.
Kinan pun menyuapi sahabatnya itu.
“Selagi
ada aku, kamu gak perlu khawatir Ko.” Jawab Kinan tersenyum. Mereka
menghabiskan waktu terakhir mereka bersama. Hanya ada tawa, sekalipun diantara
keduanya menyimpan rasa yang pedih. Entah kapan mereka akan bertemu lagi.
Seperti apa mereka akan bertemu, waktulah yang akan memberikan jawabannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar