3.25.2017

SELAGI ADA AKU ( Part 2 -TERIMA KASIH ADRIAN- )

“ 1...2...3... ! Mulai!” Aba-aba dari Petra untuk memulai pertandingan panjat tebing di kampus.  Ini adalah salah satu pertandingan bergengsi di kampus.  Di mana tak ada seorang pun yang bisa mengalahkan sang juara bertahan, Adrian.  Kali ini ada pemandangan berbeda dari pertandingan biasanya. Seorang gadis mungil dengan rambut dikuncir kuda dan tatapan tajamnya menjadi lawan Adrian. Mereka berdua saling memandang dan melempar senyum sinis.
“ Aku  kasih kamu waktu satu menit untuk mundur. Kamu nggak akan mampu ngalahin aku.” Gertak Adrian.
“ i didn’t take it from you.” Jawab gadis itu percaya diri.
Pertandingan pun di mulai. Para mahasiswa mulai berdatangan untuk menyaksikan pertandingan itu. Ada diantara mereka yang menjadi suporter Adrian. Kebanyakan memang perempuan.  Bagaimana tidak, Adrian adalah sosok mahasiswa yang tampan, kaya,ramah, dan sangat populer. Mahir dalam olahraga panjat tebing dan sepak bola.
Mereka berdua sangat cepat. Jarak mereka tidaklah jauh. Semakin lama mereka saling bersebelahan. Mereka saling menatap tajam. Keringat bercucuran dari wajah mereka. Mereka harus memperebutkan bendera kecil yang tertancap di ujung tebing buatan itu. Semakin tinggi angin bertiup semakin kencang.
Mereka berdua sudah dekat dengan posisi bendera berada. Tiba-tiba tali pangkal gadis itu mulai mengendur dan terlepas. Gadis itu mulai panik dan tangannya pun mulai bergetar.  Dia mencoba bertahan dan berusaha tenang. Adrian terkejut melihat tali gadis itu terlepas. Adrian mencoba mengulurkan tangan pada gadis itu. Ia berusaha membantu gadis itu. Gadis itu melepas satu tangannya dan berteriak untuk melepas lelahnya. “Haaah!!”
“ Pegang tangan aku! Kamu gak bakalan bisa bertahan lama.” Teriak Adrian mulai panik melihat kondisi gadis itu. Semua penonton terkejut. Beberapa diantara mereka berteriak. Ada di antara mereka bergegas pergi mengambil matras dan siaga di bawah. Mereka pun tak kalah tegang. Tangan berkeringat, peluh mulai menetes, dan sukar menelan ludah.
“ Aku takut banget kalo dia jatuh.” Kata seorang mahasiswa sambil memeluk tasnya. Ia tak memalingkan sedikit wajahnya dari Adrian dan gadis itu. Gadis itu melumuri tangannya dengan tepung secara bergantian. Ia mulai mengambil nafas panjang dan terus berjalan. Takk sedikit pun mendengarkan kata-kata Adrian. Adrian sangat terheran-heran. Satu sisi ini adalah pertandingan bergengsi dan satu sisi dia khawatir pada gadis itu.
Mereka dalam posisi yang sama dan berusaha merebut bendera itu. Para mahasiswa di bawah tengah bersorak dan berteriak.  Tegang, waspada, dan entah apa lagi kata-kata yang bisa menggambarkan ekspresi mereka satu per satu.  Hap..... bendera itu pun terlepas. Gadis itu menggenggamnya dengan tangan kananya. Adrian sangat terkejut karena gerakannya sangat cepat dan lihay. Gadis itu pun mengangkat bendera itu sambil tersenyum lebar. “ Yaaaaa!” teriak gadis itu.
“AAAAA...” Sontak semua orang berteriak saat melihat gadis itu kehilangan keseimbangannya. Adrian langsung merengkuh tangan gadis itu. Ia berusaha bertahan. Perlahan tali Adrian pun mulai mengendur.
“Tahan.” Kata Adrian.
“Lepasin tangan gue. Tali lo ga kuat nahan beban kita!”
“Lo gila?!! Lo jatuh dan lo bi.....” Gadis itu memukul tangan Adrian keras dengan tongkat bendera tersebut. Sontak saja Adrian melepaskan tangan gadis itu. Gadis itu terjatuh. Sekalipun ada matras di bawah namun tetap saja tubuh mungil itu terhempas dengan keras. Kratak... terdengar  suara retakan dari tubuh gadis itu. Dan ia pun tak sadarkan diri.
Adrian segera turun. Beberapa orang mulai mengerumuni tubuh mungil itu. “ Awas!! Jangan angkat sembarangan!” Teriak Adrian berlari menghampiri gadis itu. “Panggil ambulans!”
Ia menyentuh tubuh gadis itu perlahan. Tangannya bergetar. Dengan hati-hati ia menggeser tubuh itu agar nyaman untuk terlentang. Tampak sedikit darah keluar dari telinga gadis itu, kakinya pun tampak membiru. Mobil ambulans pun datang. Adrian, Juan, dan Hikmal turut ikut dalam mobil ambulans.

kau berbohong atau tulus padaku, tatapanmu menjawab segalanya
Angin semilir membelai rambut Adrian. Terlihat sekali kecemasan tengah menghiasi wajah tampannya. Pandagannya terus menatap tubuh mungil yang tengah terbaring di hadapannya.  Ia mengamati tangan kanannya yang sedikit membiru akibat pukulan waktu itu.  Pikirannya pun menjadi kacau.
“hhhmmm..” terdengar suara lirih di hadapannya. Matanya terbelelak melihat gadis itu mulai sadarkan diri. “ Haus.” Katanya lirih. Tak lama kemudian dokter datang memeriksa keadaan gadis itu. Gadis itu hanya tersenyum. Sesekali ia menahan tawa melihat wajah Adrian yang mendengarkan kata-kata dokter dengan serius.
“ Fix. kaki kanan kamu terkilir dan jari kanan kamu pun retak. Kamu harus bed rest beberapa hari padahal bentar lagi kita ujian. Kamu sadar yang kamu lakuin, Ki?” Kesal Adrian menatap gadis itu yang bukan lain adalah Kinan. Kinan yang sudah tumbuh menjadi gadis mungil yang cantik dengan rambut panjangnya.
Kinan menahan tawa melihat Adrian. Ia hanya tersenyum melihat Adrian yang duduk di sampingnya. Kinan meraih tangan kanan Adrian . Ia menatap dan mengelus tangan kanan Adrian yang terluka dengan  tangan kirinya. Adrian terdiam. Adrian pun mengelus rambut Kinan pelan.
“ Makasih ya. Kalo gak ada tangan ini mungkin gue lebih parah dari ini. Makasih Adrian.” Kata-kata Kinan seakan membius Adrian. Ia hanya terdiam dan menatap wajah Kinan yang tersenyum padanya. Adrian memeluknya. Jantungnya yang berdegup kencang mulai tenang saat Kinan ada dalam pelukannya. “ Hiya.. mau gue tonjok nih berani meluk gue.” Bisik Kinan.
“ Jangan pernah bikin aku khawatir lagi. Aku hampir gila mikirin kamu. Sekalipun sekarang kamu nikam aku pake pisau pun aku bakalan pasrah.” Balas Adrian. 

SELAGI ADA AKU ( Part 1 - KOTAK KECIL-)

Brak.... tubuh Prabu terbentur kursi-kursi di gudang sekolah. Dia tertunduk dan memegang lengannya yang terasa sakit. Empat anak laki-laki itu semakin senang melihat Prabu terlihat begitu lemah. Salah satu diantara mereka menarik baju Prabu ke atas lalu memukul perutnya. Prabu pun terjatuh dan keempat anak itu menendanginya penuh amarah.
“Cukup bro.. cukup .” Kata Bian. 
“Kok cukup bro? Sekalian kita habisin aja nih anak biar ga nglunjak sam lo.” Timpal salah satu teman Bian.
“ Enggak bro. Kita bisa kena masalah kalo nih anak sampe abis nyawanya.” Bian menginjak tangan Prabu. Membuat prabu berteriak dan menahan sakit. “ Ini peringatan pertama dan terakhir buat lo! Lo jangan sok keren di sekolah ini. Lo cuma anak baru yang ga ngerti apa-apa di sini. Dan lo ga usah berlagak biar semua orang suka sama lo. Lo bukan saingan gue, jadi jangan harap lo bisa sejajar sama gue. Aaahhh... dan satu lagi. Jangan pernah deketin Sania. Dia ga pantes buat lo. Gue ga takut apa pun. Ngerti lo?!!” Ancam Bian. Mereka berempat pun pergi meninggalkan Prabu yang tersungkur berdarah-darah.
Prabu memegang pergelangannya yang sakit. Dengan setengah menyeret  badannya dia bersandar di dinding gudang. Nafasnya terenggah-engah. Tatapan matanya penuh amarah namun tangan kanannya terlihat memar. “ Prabu!!” Teriak Kinan yang tiba-tiba muncul. Ia berlari mendekati Prabu. Matanya berkaca-kaca dan tangannya gemetar menyentuh lengan Prabu. Prabu hanya tersenyum.
Kinan mengambil ruff dan membalut lengan Prabu yang robek dan berdarah. Ia  mengusap darah di pelipis, bibir, dan tangan Prabu. Tanpa ia sadari air matanya menetes begitu saja. Prabu hanya terdiam menatap Kinan. Tatapannya begitu dalam. Seakan ia lupa pada tangannya yang sakit.
“ Ini pertama kalinya aku melihatmu menangis, Ki. Aku nggak papa kok, Ki.” Kata Prabu tersenyum.
“Aku nangis bukan karena sedih kamu babak belur gini. Aku hanya marah, kenapa aku gak bisa menolong kamu. Kenapa aku hanya bisa diam aja liat kamu dipukuli Bian dan temen-temennya yang gila itu. Ayo aku bantu berdiri. Kamu kuat kan?” Jawab Kinan. Sekali lagi Prabu hanya tersenyum.
Kinan membopong tubuh Prabu yang terlihat lemas. Sekalipun tinggi Kinan hanya sebatas pundak Prabu. Sesampainya di UKS dokter sekolah tertegun melihat mereka berdua. Dokter sekolah segera mengobati Prabu. “Jangan kemana-mana ya Ki.” Cetus Prabu. Kinan mengangguk dan tersenyum. Ia keluar UKS. Dengan tatapan penuh amarah Kinan mencari Bian. Dari kejauhan terlihat Bian bersama Sania tengah asyik mengobrol.
Kinan menghampiri Bian. Ia meraih tangan Bian dan membantingnya hanya dalam sekejap mata. Sania hanya tertegun. “Auch!!!!” Teriak Bian. Bian bangkit dan hendak menampar Kinan. Sekali lagi Kinan menangkis tangannya dan membantingnya lagi.
“Lo gila, Ki?! Maksud lo apa sih!” Marah Bian.
“ Kamu yang gila! Apa yang aku lakuin ke kamu ga sepadan dengan apa yang kamu lakuin ke Prabu.”
“ Ooh jadi bocah itu ngadu ke lo? Heh. Pengecut.”
“Kamu yang pengecut. Denger baik-baik ya Bian Kusuma Wardahani, sekali lagi kamu bertingkah aku patahin leher kamu. Jangan pernah ganggu Prabu lagi.”
“ Kenapa? Lo suka sama dia? Lo mau jadi tamengnya dia gitu?” Bian terkekeh mendengar ancaman Kinan. “Kalo bukan lo sepupu gue, udah habis lo ditangan gue. Jangan ngira keluarga gue berhutang budi sama keluarga lo lantas lo seenaknya sama gue, Ki.” Ancam Bian tepat di depan wajah Kinan. Kinan pergi meninggalkan Bian. Ia berjalan menuju UKS. Kinan duduk di samping Prabu yang tertidur.


Ting.... bunyi hp Kinan. Menandakan ada pesan masuk di akun Line Kinan. Segera ia membuka pesan itu. Ternyata dari Prabu.

Udah tidur, Ki?
Belum nih, Ko. Gimana keadaan kamu? Mending?
Kamu tadi kemana? Aku kan bilang untuk nungguin aku. Tapi kamu ga ada.
Aku tadi nemuin Bu Rahma buat nanyain tugas. Selagi inget Ko.. hiihihihih
Besok aku tunggu kamu di kafe biasa ya Ki. Penting. Jam 7 malem. Jangan ngaret loh.
Oke deh.
Met istirahat Kinan
Met istirahat juga Koko

   Kinan tersenyum membaca pesan Prabu. Begitu pun dengan Prabu. Seakan ada isyarat diantara mereka. Memang masa remaja yang penuh dengan romansa. Penuh dengan cerita cinta, pertemanan, dan prestasi. Kinan membuka buku hariannya. Terselip sebuah foto seorang laki-laki yang tengah tersenyum ditengah lapangan sepak bola sembari bermadikan keringat. Ya, foto Prabu. Diam-diam Kinan mengambil gambarnya. Kinan memandanginya penuh perhatian, penuh harapan.

Suasana kelas tampak riuh. Ujian Nasional segera berlangsung minggu depan. Kinan menatap kursi Prabu yang kosong. Wajar jika hari ini Prabu tak masuk sekolah. Mungkin dia butuh istirahat lebih karena kejadian kemarin, pikir Kinan. Seakan ada yang berbeda saat Prabu tak bersamanya. Sejak Prabu datang di sekoalh ini, Kinan menjadi banyak bicara. Tak ada yang bisa membuatnya berbicara banyak selain Prabu. Bahkan ketiga teman dekat Kinan seperti  Renata,Dimas, dan Ratih.

mungkin sangat sederhana, namun aku adalah ketulusan sebuah perasaan

Kinan sibuk mencari pakaian yang cocok untukknya. Karena malam ini ia akan bertemu Prabu. Setelah setengah hari ini tak melihat senyumnya, Kinan sangat rindu. Kinan datang ke tempat ia biasa pergi dengan Prabu beberapa kali ini. Prabu duduk di samping jendela sambil memainkan ponselnya. Kinan langsung duduk di hadapannya. Membuat Prabu terkejut.
“ Serius amat, Koko.” Ledek Kinan. Ia melepas jaket dan membuka buku menu.
“ Aku pikir kamu nggak dateng, Ki. Aku kangen kamu Ki.” Kinan terdiam. Pandangannya langsung beralih ke wajah Prabu. Prabu menatapnya hangat. “ Ki, aku besok mau pindah sekolah lagi.” Pernyataan Prabu sangat tiba-tiba. Kinan  menutup buku menu dan mendengarkan Prabu dengan seksama. “Aku pindah ke Singapura Ki, pengobatan tanganku juga. Tangan kanan aku retak, syarafnya ada yang keganggu karena kejadian kemarin. Aku ga bisa ngelukis lagi, Ki. Aku ga bisa motret lagi.” Seakan ada gutur menyambar kepala Kinan.
Matanya mulai berkaca-kaca lagi. Sekujur tubuhnya menjadi lemas. Prabu memegang tangan Kinan yang mulai mendingin.
“Tiba-tiba banget , Ko? Kayaknya aku mesti patahin tangan Bian deh.” Kesal Kinan. Prabu terkekeh. Ia mengacak-acak rambut Kinan.
“Gak perlu segitunya kali, Ki. Mungkin bener kata Bian. Aku sok orangnya waktu datang ke sekolah kamu. Ah, aku udah pesenin makanan dan minuman buat kamu. Aku hampir lupa. Hehheheh.”
“ Makasih, Ko. Tapi apa harus ya Ko ke Singapura? Maksudku apa gak di Indo aja. Di sini banyak rumah sakit bagus kok. Pasti bakal ga asik gak ada kamu.” Kinan cemberut.
“ Iya, harus. Ini sih permintaannya mama papaku, Ki. Aku pesen sama kamu, jangan gampang emosi dan mukul orang ya. Cewek itu harus anggun, cantik....”
“ Kayak Sania gitu??”
“ Ahahahahha,, kok nyambungnya ke Sania sih. Kamu cantik kok, Ki. Ini buat kamu.” Prabu memberikan sebuah kotak kecil. Hadiah perpisahan untuk teman terbaik yang pernah dimilikinya. Tak lama kemudian makanan mereka datang. “ Uups... Tangan kanan aku sakit Ki, aku susah makannya.” Prabu memelas pada Kinan. Kinan terkekeh melihat sifat manja Prabu. Kinan pun menyuapi sahabatnya itu.
“Selagi ada aku, kamu gak perlu khawatir Ko.” Jawab Kinan tersenyum. Mereka menghabiskan waktu terakhir mereka bersama. Hanya ada tawa, sekalipun diantara keduanya menyimpan rasa yang pedih. Entah kapan mereka akan bertemu lagi. Seperti apa mereka akan bertemu, waktulah yang akan memberikan jawabannya.