12.28.2014

LUNA



Aku telah berjanji akan menjemputnya sore itu. Berpakaian rapi dan mempersikan semuanya hanya untuk melamar kekasihku, Luna. Baru kali ini aku merasa sangat nervous. Optimis akan mendapatkannya untuk menjadi istriku kelak. Tak lupa kututup dengan menyemprotkan parfum kesayangan Luna dalam tubuhku.
Aku sudah satu jam menunggu di taman ini. Taman di mana aku pertama kali berkencan dengannya. Aku tak menyangka bisa menjadi laki-laki yang norak seperti ini. Dia bukan orang lain bagiku, dia kekasihku sejak dua tahun yang lalu. Tapi sekarang  tingkahku seperti anak SMA yang akan mengakhiri masa jomblonya. Kuperhatikan jam tangan dan itu pun bukan satu jam, melainkan sudah tiga jam aku menantinya. Kecemasan kini menghantuiku. Aku memang sengaja tak menghubunginya karena ini adalah kejutan. Kunyalakan ponsel  yang dari tadi sengaja kumatikan.  Namun hingga empat jam aku menunggu tak ada sms atau telepon dari Luna.  Seseorang menutup kedua mataku dari belakang.  Dan aku hafal benar aroma parfum ini.
“ Kenapa lama sekali sih, sayang?” Tanyaku menggenggam tanggannya. Luna hanya tersenyum dan memelukku dari belakang.  “ Dari mana aja sih?” Tanyaku sekali lagi, berharap Luna akan mengatakan bahwa dia terlambat karena mempersiapkan diri untukku agar tampil cantik. Luna duduk di sampingku dan menyandarkan kepalanya pada pundakku. “ Apa ada masalah?” Tanyaku lagi padanya, dan sekali lagi dia hanya tersenyum.
Ada yang aneh darinya waktu itu.  Dia hanya tersenyum dan terus memandangi wajahku. Dia terlihat sangat cantik seperti bulan yang cerah dalam malam yang gelap. Tak ada sepatah katapun yang dia keluarkan dari mulut manisnya. Hanya tersenyum dan tersipu malu. Inilah Lunaku yang anggun. Luna yang cantik nan elok.
“ Sayang, aku... aku ingin kamu menjadi istriku dan ibu bagi anak-anakku.  Aku ingin kita membina rumah tangga yang sederhana dan bahagia. Mau kah kamu menerima permintaan kekasihmu ini?” Aku ingat benar kata-kataku ketika memintanya untuk menjadi istriku.  Dia mendekap tubuhku begitu hangat.  Aku terbenam dalam mata indahnya. Semakin dekat semakin hangat bibir ini kurasakan. Aku terpejam dalam rindu ini. Namun semakin lama, semakin dingin yang meraba bibirku.  Aku terjaga hingga kudapati  aku hanya sendiri di tempat itu. Di mana Lunaku?
“ Luna!” Aku mencarinya di sekitar taman. Dia tiba-tiba menghilang tanpa berpamitan denganku.  Tak lama ponselku berdering dan itu dari Luna. Aku hanya tertegun mendengarnya. Segeraku bergegas untuk pergi meninggalkan tempat ini, tempat di mana awal cinta kami bersatu dan berpadu dalam kasih.

Aku hanya bisa terpaku melihatnya. Sakit yang kurasakan semakin menyesakkan nafasku. Kuraba tangannya yang dingin, kubelai wajahnya yang cantik, semua membuatku ingin memeluknya.  Agnes datang mendekatiku dan memberikanku sepucuk surat untukku.
“ Luna menitipkan ini untukmu.” Katanya parau. Suaranya nyaris habis karena menangis sejak beberapa jam yang lalu. Aku pergi ke taman belakang rumah Luna. Di mana di bangku itu kami saling bercanda tawa, menangis bersama, bahkan berantem.  Tanganku bergetar ketika mebuka surat ini.


Untuk Agam sayangku dan cinta terakhirku...
Sayang, bagaimana kabarmu hari ini? Aku seneng kalau kamu dalam keadaan yang sangat baik. Maaf hanya bisa memberimu surat ini. Aku tahu hari ini adalah hari jadi kita yang ke dua tahun. Congratulation baby,  . aku tak bisa datang menemuimu sayang, toh kini aku menemuimu dalam keadaan seperti ini.  Di mana aku dan kamu sudah tak dapat bertemu lagi. Tapi aku janji setiap hari, setiap waktu aka selalu di sampingmu kok.
Aku tak bercerita kepadamu ya kalau aku mengidap  jantung yang bocor. Aku sudah putus asa dengan kehidupanku, tapi sejak bertemu denganmu aku seakan menemukan semangat baru. Kamu membuat aku jatuh cinta dan ternyata kamu memiliki rasa yang sama.  Melalui surat ini aku ingin mengatakan kalau aku berterima kasih telah menjadi cahayaku selama ini. Lilin yang kita nyalakan bersama kini tinggal satu yang masih menyala, semoga dia terus bisa bersinar. Aku mencintaimu, Gam. Sampai saat ini, sampai aku mati.

Tersayang,

Luna

Surat dari Luna ini membuatku menitihkan air mata. Tak dapat kulepas begitu saja dia dalam keseharianku. Kudekati tubuhnya dalam peti  yang kaku. Kini dia akan tertidur di sana untuk selamanya.  Disamping injil yang selalu dia baca setiap sore, ada fotoku dan dia saat kita berlibur di Bali. Kupakaikan cincin pada jari manisnya sebagai penghormatan terakhir sebelum dia benar-benar harus tinggal dalam kegelapan.  Selamat jalan cinta,lilin ini akan terus bersinar untukmu.